Karel Frederik Holle, Seorang Belanda yang Cinta Akan Budaya Sunda

Apa yang dilakukan K.F. Holle di bidang literasi, menurut Mikihiro Moriyama dalam buku “Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, Dan Kesastraan Sunda Abad ke-19” merupakan salah satu dari gerakan penemuan, pemurnian, dan pendayagunaan bahasa Sunda, setelah dua abad sebelumnya dianggap tidak ada karena pengaruh kekuasan Mataram. Sepanjang abad 17 dan 18, bahasa tulisan yang dipakai dan berkembang di Tatar Sunda adalah bahasa Jawa. Hal ini tak lepas dari dikuasainya tanah Priangan oleh Kerajaan Mataram dari Jawa, dampak “penjajahan” Mataram ini terjadi di berbagai lini kehidupan, salah satunya adalah bahasa. Maka tak mengherankan jika selama hampir dua abad kesastraan Sunda berkembang menurut estetika Jawa.

Kondisi terpinggirkannya bahasa Sunda akibat pengaruh Jawa tersebut, juga pernah dikeluhkan oleh Moehamad Moesa dalam sebuah tulisan :

“Basa Soenda noe kalipoet / tanda jén kalipoetan / boektina di Soenda sepi / hanteu aja boekoe woengkoel basa Soenda / Réja maké doewa basa / Nja éta salah-sahidji / Malajoe atawa Djawa.” (Moesa 1867: 5)

“Bahasa Sunda yang tersembunyi / tanda bahwa ia tersembunyi / adalah bahasa Sunda dipencilkan / tidak ada buku yang ditulis / hanya dalam bahasa Sunda / kebanyakan ditulis dalam dua bahasa / yaitu salah satu di antara / bahasa Melayu atau Jawa.”

Bahkan kenyataan ini membuat pemerintah kolonial Belanda pada mulanya menganggap bahwa di Pulau Jawa tidakak ada bahasa etnik lain selain bahasa Jawa. Barulah kemudian pada abad ke-19, para intelektual Belanda yang berstatus pejabat pemerintah kolonial, penginjil, dan partikelir yang hidup pada abad itu, menemukan bahasa Sunda sebagai sebuah bahasa mandiri yang memiliki kosa kata dan struktur tersendiri, yang artinya berbeda dengan bahasa Jawa yang sebelumnya dianggap sebagai bahasa tunggal.

Apa yang di lakukan K.F. Holle dalam pergaulan sehari-harinya yang banyak tercurahkan terhadap budaya dan literasi Sunda, terutama persahabatannya dengan Moehamad Moesa, juga karena ia sendiri menjabat sebagai penasehat kehormatan pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi, kemudian melahirkan prasangaka dan kecurigaan, baik dari kalangan pribumi maupun dari pihak Belanda. Mikihiro Moriyama menyebut hal ini dengan kalimat yang tepat, yaitu “paduan ganjil antara oportunisme, persahabatan, dan keingintahuan.”

Namun bagaimanapun, peran K.F. Holle dalam perkembangan literasi Sunda kiranya tak dapat diabaikan begitu saja. Ketika ia meninggal dunia pada tahun 1896, anak lelaki Haji Moehamad Moesa yang bernama Kartawinata, menulis satu buku kecil yang ternyata menandakan berakhirnya suatu zaman. Ya, zaman yang ditinggalkan K.F. Holle dengan segala kecintaan dan peranannya terhadap perkembangan literasi Sunda. 

Halaman Selanjutnya

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel