Leader is Reader: Belajar dari Maniak Literasi

Sebuah diskusi terbuka bertemakan “Leader is Reader” yang dikemas dalam program “Kolaborasi Ide” untuk edisi yang pertama telah digelar. Kegiatan yang dibuat terbuka untuk umum ini dilaksanakan pada Senin sore kemarin (06/02/2023) di Badami Coffee, Kampung Toga, Sumedang Selatan.
Saya secara pribadi menaruh minat khusus terhadap topik yang telah dibicarakan pada hari kemarin. Sebagai mahasiswa berlatar studi Pendidikan Sejarah, saya melihat adanya sebuah pola keterkaitan antara aspek kepemimpinan para pendiri bangsa Indonesia dengan tradisi literasi.

Para pemimpin Indonesia yang tampil pada masa awal kemerdekaan hampir seluruhnya adalah orang-orang yang dibesarkan melalui tradisi literasi. Aktivitas membaca, menulis, dan berdiskusi, menjadi budaya yang mereka kembangkan sejak berusia muda. Karena itu, menurut hemat saya, sepertinya tidak terlampau berlebihan juga apabila kita gelari mereka sebagai "maniak literasi" generasi awal Indonesia pasca-merdeka.

Tokoh-tokoh yang mewakili kelompok tersebut, dalam lingkup terbatas, di antaranya adalah Ir. Sukarno (1901-1970), Drs. Mohammad Hatta (1902-1980), dan Mohammad Natsir (1908-1993). Tiga tokoh ini saya pilih menjadi sampel pemimpin maniak literasi yang dapat kita teladani jejaknya.

Jejak Tradisi Literasi Sukarno, Hatta, dan Natsir
Sukarno merupakan pemimpin nasional dari Jawa dan Presiden Republik Indonesia pertama. Hatta dikenal Wakil Presiden Indonesia pertama dan seorang putra kelahiran Minangkabau. Sedangkan, Natsir dikenal sebagai pemimpin besar Islam Indonesia yang dilahirkan di Minangkabau yang juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima.

Ketiga figur di atas ini merupakan segelintir tokoh yang sejak belia akrab menjadi maniak literasi. Sukarno merupakan penggemar berat tulisan para pemikir nasionalis sampai dengan marxis. Sementara, Hatta yang bersekolah di Belanda, tergila-gila dengan beragam topik buku, bahkan ia sendiri mengoleksi banyak buku di perpustakaan pribadinya. Ada pun, Natsir yang dibesarkan di lingkungan Islam tulen, tidak membatasi akses bacaan hanya pada literatur Islam. Ia juga turut membaca ragam buku yang diterbitkan oleh orang-orang Eropa sewaktu bersekolah di AMS Bandung.

Sukarno mengaku bahwa hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk membaca berbagai jenis buku. Aktivitas membaca buku ini turut mendorongnya untuk menulis. Sejak berkuliah dan bergaul dengan para aktivis pergerakan nasionalis di Bandung, Sukarno pernah menulis sebuah risalah berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang cukup fenomenal pada pertengahan 1920-an. 

Halaman Selanjutnya

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828