Naskah Kuno Kitab Waruga Jagad

Ada beberapa naskah kuno yang tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, salah satunya yaitu Kitab Waruga Jagad. Naskah Kuno tersebut bertuliskan huruf Pegon dengan bahasa jawa. Penulisnya yaitu Mas Ngabehi Perana.

Kitab Waruga Jagad menceritakan tentang sejarah Sumedang. Peristiwa yang ditulis dalam Kitab Waruga Jagad adalah peristiwa serah terima Mahkota Sanghyang Pake Binokasih pusaka Pajajaran yang diwariskan ke Prabu Geusan Ulun tahun 1578. 

Dalam kitab Waruga Jagad dituliskan Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Salasa ping wulan Syafar tahun Jim akhir. Naskah Waruga Jagad walaupun sudah tidak utuh, tetapi isi cerita sejarah Sumedang masih dapat ditafsirkan. Penetapan tanggal 22 April sebagai hari jadi Sumedang berdasar pada jejak historis Waruga Jagad, paririmbon Naskah Kuno Sumedang. 

Naskah tersebut tidak berasal dari kertas biasa, melainkan dari bahan yang dikenal dengan nama “kulit sach”, sejenis daluang yang terbuat dari kulit kayu. Hingga kini pembuatan daluang dari kulit sach itu masih diproduksi orang di daerah Wanaraja, kabupaten Garut, dipergunakan sebagai alat pembungkus. Naskah itu berukuran kwarto, tebalnya hanya terdiri dari atas 12 lembar.
 
Naskah kuno tersebut karena hanya bagian tengahnya yang dapat dibaca agak lengkap, berhubung sebagian terbesar telah hancur dimakan usia. Dilansir dari budaya-indonesia.org isinya antara lain mengenai uraian masa percintaan antara Mundingsari dengan puteri Ambetkasih di Negara Sindangkasih. Setelah bagian itu diketahui, barulah dapat ditentukan, bahwa naskah yang sangat rusak itu adalah “babad Siliwangi”, naskah aslinya, sedangkan di Museum Pusat Jakarta, hanya tersimpan copy/turunannya, dengan judul yang sama, turunan naskah itu dikerjakan oleh Raden Panji Surya Wijaya, Betawi tahun 1866.
 
Di dalam naskah itu selain dapat kita telaah deretan silsilah penguasa-penguasa yang menurut kepercayaan masyarakat pernah berkuasa di tanah air kita, juga dihubungkan dengan penguasa-penguasa yang pernah memegang peranan dalam penyebaran agama Islam di dunia, yang menurut anggapan penulis, secara tradisionil kesemuanya itu bertalian kerluarga satu sama lainnya. Dan demikianlah makna sesungguhnya istilah Waruga Jagat.

Jika kita perhatikan arti kata ‘Waruga’ itu sendiri, maka perlu diperingatkan akan makna yang diberikan oleh S.M. Pleyte (C.M. Pleyte, 1913, “De Patapan Adjar Soekasari, anders Gezegd de kluizenarij op de Goeneong Padang”, TBG, Dool LV, hal. 380, catatan 2) ketika ia mencoba mengupas pengertian ‘waruga’, dalam kesempatan membicarakan naskah Carita Waruga Guru (disingkat CWG), C.M. Pleyte member makna bagi kita ‘waruga’ dengan ‘belichaning’, ‘lichaan’, dan ‘lifj’. Dari ketiga makna yang diberikan C.M. Pleyte itu, yang lebih mendekati dalam istilah bahasa Indonesia adalah ‘penjelmaan’, kiasan untuk tokoh yang memegang peranan penting di dunia ditinjau dari sudut pandang penulis, penulis tradisionil.

Kata ‘waruga’ adalah betul-betul sebuah kata dari bahasa Sunda bukan pinjaman dari salah satu bahasa asing. Dalam bahasa Sunda, kata waruga berarti: awak, badan, seperti kita dapati dalam bahasa: “kuru aking ngajangjawing, waruga ngan kari tulang”, yang ditujukan kepada seseorang yang badannya yang sangat kurus kering. Kata-kata yang lainnya, yang merupakan sinonim dengan ‘waruga’ ialah ‘raga’ dan ‘kurungan’. Sup bayu ka kurungan, adalah sebagian dari rangkaian mantera yang biasa diucapkan terhadap anak kecil yang dalam keadaan setengah sadar, supaya lekas siuman dalam bahasa Melayu dapat kita bandingkan dengan ucapan ‘kur’, semangat.

Dalam beberapa bahasa yang bersaudara dengan bahasa Sunda, terdapat juga kata ‘waruga’, dalam bentuk dan atau pengertian yang bergeser, hal tersebut dapat kita temukan dalam uraian Van Tuuk (H.N. van der Tuuk, 1901, Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenbook, Dool III, s.v. waruga),antara lain dinyatakan, bahwa arti waruga dalam bahasa Bali, bale; Sasak, barugaq = bala, Bima, parusa berarti rumah-rumahan di atas kuburan; Sangir: bahugha, Rojang, Bugis. Makasar: baruga; Lampung: parugan, berugu (baruga) seperti kubah atau anjung di muka atau di samping rumah, tempat wanita bertenun; Bengkulu: brogo, berarti kamar duduk.
 
Naskah KWJ, baru kami ketemukan sebuah saja, sedangkan yang sebuah tersimpan di Leiden, maka dengan demikian belum sempat kami perbandingkan isinya, seangkan dalam koleksi naskah-naskah di Museum Pusat Jakarta, naskah jenis demikian sepanjang pengetahuan kami tidak ada. Adapun KWJ milik YPS itu karena dalam keadaan rusak maka tidak dapat dibaca dengan sempurna, kami coba untuk menyempurnakannya berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam CWG. Dan meskipun terdapat banyak persamaan, tetapi sering tertulis agak berbeda, dalam hal-hal yang sedemikian, kami biarkan sebagaimana adanya.

Komentar

wave
  • John Doe

    Enid

    Dec 31, 2023 16:17

    I blog quite often and I seriously thank you for your information. This article has truly peaked mmy interest. I will book mark your website aand keep checking for new information about once a week. I opted in for your RSS feed too.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel