Penyebaran Islam di Sumedang Melalui Pendekatan Seni dan Budaya

Bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, diperkirakan Islam juga masuk ke daerah-daerah, termasuk ke Jawa Barat. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua kerajaan pusat kekuasaan Islam yaitu, Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Djati dan Banten yang dipimpin oleh Faletehah. Melalui dua kerajaan ini Islam menjadi kekuatan politik pada abad ke-14/15 M, dan agama Islam menyebar ke berbagai wilayah pedalaman Jawa Barat, tidak terkecuali Sumedang. Sumedang merupakan salah satu kabupaten yang secara historis bisa dikatakan sebagai salah satu kabupaten tertua di Jawa Barat.

Hal demikian merujuk kepada terbentuknya Kerajaan Sumedang Larang tahun 612 Masehi. Agama Islam tersebar melalui pendidikan, perdagangan, pernikahan, dan kebudayaan. Begitupun kedatangan Islam di Sumedang, berlangsung cepat dikarenakan Islam mampu beradaptasi dengan kebudayaan setempat.

Berbicara mengenai kebudayaan, hampir setiap tindakan manusia merupakan kebudayaan dapat berupa tindakan naluri yang sebagian bersifat refleks. Agama merupakan salah satu unsur kebudayaan, sehingga keduanya menjadi sesuatu yang salaing berhubungan tidak mungkin dipisahkan.

Islamisasi di Sumedang masa awal ada menunjukkan korelasi dan dominasi yang kuat dengan Islam pola dan corak Islam Pesisiran Cirebon, seiring dengan Gerakan kesultanan Cirebon yang sedang mengembangkan pengaruh Islamnya di wilayah-wilayah pedalaman di Tatar Sunda secara umum. Daerah-daerah Galuh Ciamis, Majalengka Kuningan, termasuk Sumedang saat itu yang sebagai sentral kekuasaan dan pewaris Sunda Padjajaran tidak lepas dari target penyebaran Islam.

Selanjutnya pembentukan karakteristik kebudayaan Islam lebih banyak didominasi dan dibentuk melalui aviliasi dan proses politik Islam Mataram pada sejumlah wilayah kerajaan Sumedang Larang. Internalisasi Islam ini merupakan perpaduan antara pola Islam Pajang dan Sunda Pajajaran. Kegiatan Internalisasi ini ditunjang oleh sejumlah lokal jenius setempat, baik selaku “abdi dalem” atau tokoh-tokoh sekitar kerajaan untuk merumuskan kembali identitas budaya Islam di Tatar Sunda.

Proses Islamisasi di Sumedang sangat berpengaruh terhadap model Islam pada masa kini. Sumedang mewakili Pajajaran dalam mengemban akar-akar kebudayaan pra-Islam, namun Kerajaan ini mampu menyatukan antara Islam dan warisan lama Sebagai wilayah yang mengabdikan diri pada kekuasaan Jawa Mataram, Sumedang secara Simbolik melalui raja-rajanya menginternalisasi diri dalam pembentukan karakter keislamanaa dengan memberikan kekuatan pada dimensi-dimensi “Hindu-Islam” dan “Animisme Sunda”.

Masing-masing area semacam desa-desa “perdikan” di sekitar kabupaten Sumedang telah menjadi bukti hingga saat ini sebagai tempat sangat subur bagi tumbuhnya sejumlah tradisi Islam-Sunda yang beraviliasi dengan pola-pola kemataraman dan kesundaan. Hal ini terlihat pada berbagai warisan artefaktual kebudayaan yang ditunjang sejumlah tradisi lisan baik “mitos’ maupun “legenda” yang selalu dikaitkan antara “animism-Sunda” mau pun “Islam Mataram” yang pengaruhnya terus terjaga secara turun temurun hingga hari ini.

Perubahan pola Islamisasi di Sumedang/periodisasinya mungkin mengikuti Islamisasi pulau Jawa secara umum, diduga meliputi: tahap awal abad ke 10-13 masuknya Islam di Tatar Sunda secara umum, di Sumedang sendiri Islam mulai menyebar pada tahun 1529, penyebarnya adalah Maulana Muhammad/Raden Kusen/ lebih dikenal dengan nama Pangeran Palakaran. Pangeran Palakaran adalah putra Aria Damar seorang wali pemerintahan Majapahit, juga sultan Palembang ketika Palembang dibawah kekuasaan Majapahit.

Namun setelah Majapahit runtuh pangeran Palakaran yang semula beragama Hindu masuk agama Islam, kemudian beliau berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon dan menjadi ulama serta menikah dengan Mertasari putri Sunan Gunung Jati dari Pernikahan tersebut lahir Pangeran Santri yang kemudian menikah dengan pemimpin kerajaan Sumedang Larang yaitu Ratu Pucuk Umun.

Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Dalam kapasitas sebagai penguasa Sumedanglarang, Pangeran Santri tetap melanjutkan tugas ayahnya, Maulana Muhammad atau Pangeran Palakaran, menyebarkan agama Islam di Sumedanglarang.

Dalam penyebaran agama Islam, Pangeran santri mengenalkan seni Gembyung sebagai media penyiaran. Pada tahun 1551, Pangeran Santri bersama para santrinya datang ke Sumedang dengan membawa waditra seni gembyung sebagai mediasi yang efektif dalam menyiarkan ajaran Islam. Dalam menyebarkan agama Islam pangeran Santri menyiarkan di daerah Cisarua, Ganeas, dan sekitarnya. Sedangkan Wangsa Syahrudin (eyang suci) menyebarkan agama Islam di daerah Tanjungkerta dan sekitarnya.

Tahap kedua pada abad 16 penyebaran secara masif hingga berdiri Kerajaan Prabu Geusan Ulun, tahap abad ke-19 masa pemerintahan pangeran Sugih (1836- 1882) ditandai dengan banyaknya artefak Islam seperti Pesantren Asyrafuddin di Cikule, Masjid Agung Sumedang dan adanya naskah Al-Quran yang disalin tahun 1856 salinan Moh. Arwan yang diduga sebagai ulama Tatar Sunda yang juga bertugas pada Kabupaten Sumedang Larang.

Bukti nyata dari kuatnya pewarisan budaya Islam Sumedang juga tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun dalam bentuk benda-benda budaya. Beberapa bangungan dan tipologi arsitektur serta isi dan peranan lingkungan di daerah kabupaten tempo dulu yang bisa dilihat sekarang, meunjukkan pola-pola perpaduan kebudayaan yang sangat sinergis. Joglo Tumpang (Jawa) dan Julang Ngampak (Sunda), memberi ciri identitas masing-masing kebudayaan.

Difusi budaya berjalan dengan seiring memadunya Sunda-Jawa hampir di semua aspek. Termasuk beberapa benda pusaka seperti makhkota, senjata dan beberapa benda lainnya yang secara artefaktual memiliki nilai budaya yang cukup tinggi dan masih memberikan identitas yang cukup jelas bagi keberadaan Islam di Sumedang masa kini.

Makin Tahu Indonesia

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel