Berbagai sumber sejarah menyebutkan bahwa masyarakat percaya bahwa Nyi Aciah adalah dukun dan “orang suci yang memiliki kesaktian.” Konon, dia akan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat, sehingga gerakan ini disambut baik oleh rakyat di sekitar daerah Malangbong, dan termasuk beberapa tokoh agama Islam di daerah itu. Gerakan yang semakin meluas itu, kemudian melalui orang kepercayaannya yang bernama Hasan Mohammad, Nyi Aciah meminta agar para pejabat pribumi tidak mengganggu gerakannya. Saat rombongan Nyi Aciah berkunjung ke rumah Bapa Asminem di Cibiana, Distrik Majalengka, diadakanlah pertemuan yang dihadiri juga oleh Hasan Mohamad dari daerah Urug yang mengaku sebagai salah seorang keturunan Jawa asal Bagelen. Sebelumnya, Hasan mendapat pendidikan agama di pesantren Malangbong, Garut, dan pesantren di Madiun dan Kediri di Jawa Timur. Tahun 1869 Hasan pulang ke kampungnya, Kampung Urug dan mengangkat diri sebagai ustad sekaligus dukun. Karena pandai dalam keagamaan, penduduk menyebutnya “kiai” dan begitu menghormatinya. Hasan juga pernah beberapa kali bertapa, dan dalam tapanya jiwanya sering dikuasai roh suci yang kemudian dianggapnya sebagai “ilham”. Setiap “ilham” yang diperolehnya ia tulis sebagai “piagem”, yang kemudian dikenal sebagai “surat tobat”. Salinan “piagem” ini disebarluaskan di antara pengikutnya ketika gerakan keagamaannya mulai dilancarkan. Dalam pertemuan dengan Nyi Aciah, Hasan yang baru bertemu dengan Nyi Aciah spontan memanggilnya dengan sebutan “anak” yang telah lama dicarinya. Hasan mengungkapkan bahwa kini saatnya akan pecah perang dan semua peraturan yang berlaku kini harus dimusnahkan.
Juga disebutkan bahwa kelak anak berdiri dua kerajaan: Keling dan Tegal Luar. Dalam salinan piagem pertamanya yang diberikan kepada Nyi Aciah disebutkan bahwa Nyi Aciah akan diangkat sebagai Ratu Kerajaan Tegal Luar sedangkan Hasan menjadi patih atau wakilnya. Sebagai langkah persiapan dalam melawan penguasa yang ada, dibagi-bagikanlah jimat dan surat tobat (yang sebenarnya berisi ramalan yang dibuat Hasan Mohamad bahwa Nyi Aciah akan menjadi Ratu Sunda) yang harus disimpan baik-baik hingga “saatnya tiba”. Bapa Enom dan anaknya masing-masing dicalonkan sebagai panglima dan sebagai pembawa payung kebesaran (payung songsong) Kerajaan Sunda. Dalam usahanya ini, Hasan Mohamad berhasil memengaruhi sejumlah tokoh ulama terkemuka: Raden Mohamad Ahmad (Naib Tasikmalaya), Mohamad Sanusi (Naib Indihiang), Mas Abdul Manan (Naib Malangbong), bapa Enom dan Bapa Arsinem (keduanya dari Cibiana), Bapa Naip dan Ambu Aciah (ayah-ibu Nyi Aciah), Haji Abdullah, dan Haji Abdullah Umar. Sejarah juga mencatat bahwa Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Koesoemah Adinata ini atau Pangeran Sugih ini, selain sangat cakap dalam bidang pemerintahan dan pembangunan ekonomi di daerahnya, juga dikenal sebagai seorang tokoh seni atau budayawan. Pada masa pemerintahannya, kesenian wayang kulit dan wayang golek berkembang atas pembinaannya. Bahkan dia juga mempelopori seni pertunjukkan wayang orang di Priangan. Meskipun motif gerakan Nyi Aciah ini belum diketahui dan tidak jelas, pemerintah kolonial Belanda mengawasi gerak-gerik gerakan ini. Awalnya Belanda tidak terlalu peduli terhadap gerakan ini dan hanya membiarkannya saja. Namun setelah semakin berkembang dan masyarakat meyakini kekuatan supranaturalnya, pihak Belanda mulai khawatir terhadap perkembangan gerakan ini. Akhirnya Belanda bertindak, dan dengan alasan mengganggu keamanan dan ketertiban umum, pemerintah Belanda menangkap Nyi Aciah dan para pengikutnya serta kemudian menahannya pada awal Mei 1871. Gerakan ini berakhir dengan ditangkapnya Nyi Aciah yang dipimpin oleh Hasan Mohammad. Sumber:
Buku Sumedang Heritage dan buku Sejarah Tatar Sunda Jilid 1
Belum ada komentar.