Tentang Adanya Mitos Buaya Putih dan Keuyeup Bodas di Jatigede

Siapa sangka, beberapa titik di kawasan Jatigede yang indah tersebut, dengan ramainya para pengunjung setiap harinya dibeberapa tempat wisata di sana, ada sebuah mitos-mitos yang beredar di masyarakat di sana.

Mitos Jatigede adalah mitos yang berkembang dan beredar di masyarakat Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Mitos tersebut berasal dari cerita leluhur Sumedang yang berkaitan dengan wilayah Jatigede yang terdapat di Sumedang. 

Agar Makin Tahu Indonesia dari berbagai daerahnya, dengan ragam budayanya, simak yuk!

Saat ini, Waduk Jatigede banyak yang mendatanginya, beberapa titik dengan keindahannya dan tempat wisata. Semenjak pembangunan waduk tersebut banyak cerita-cerita yang beredar di kawasan Darmaraja itu yang kemudian disebut mitos ada kaitannya dengan pembangunan waduk itu.

Mitos-mitos tersebut dan pandangan beberapa orang, mereka beranggapan bahwa salah satu penyebab tersendatnya pembangunan waduk Jatigede dulu, adalah adanya mitos-mitos tersebut yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.

Cerita-cerita yang beredar di masyarakat Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja khususnya, seperti cerita tentang Babon Darmaraja, Cerita tentang Buaya Putih dan Keuyeup Bodas  dan cerita tentang Uga. Ketiga jenis mitos tersebut pada dasarnya menerangkan kelak Sumedang hanya tinggal sebuah nama karena tanah Sumedang akan tergenangi air.

Mitos-mitos tersebut begitu dipercayai dan dianggap benar oleh masyarakat Sumedang sebagai masyarakat pendukung cerita sampai-sampai pembagunan Waduk Jatigede yang digulirkan pada tahun 1980.

Selain mitos yang terdapat dalam Babon Darmaraja, mitos lain yang dipercayai kebenarannya oleh masyarakat Darmaraja yang berkaitan dengan pembangunan waduk Jatigede adalah di tengah masyarakat Darmaraja juga beredar mitos tentang buaya putih dan keuyeup bodas.

Mitos buaya putih dan keuyeup bodas menggambarkan dua kekuatan besar yang saling bertentangan. Buaya putih tak lain adalah jin penjelmaan arwah Sangkuriang yang mewakili satu kekuatan besar yang terdapat di kawasan Darmaraja. 

Dalam sebuah jurnal Pembangunan Waduk Jatigede, Mitos-mitos dan Sastra Lisan Sunda menyebutkan bahwa dalam mitos tersebut, Sangkuriang digambarkan sedang mengejar-ngejar Dayang Sumbi yang berhasil memperdayanya. 

Sangkuriang ingin memiliki sebuah telaga indah setelah terlambat membendung Sungai Citarum. Ia dengan segala kekuatan dan kesaktiannya akan membangun sebuah telaga besar di Darmaraja. Setelah gagal membendung Sungai Citarum, Sangkuriang rupanya begitu penasaran ingin mempersembahkan sebuah telaga pada Dayang Sumbi. 

Sementara itu, keuyeup bodas sebagai penjelmaan jin lain yang merupakan kekuatan lain berupaya mencegah adanya pembangunan telaga yang dilakukan oleh Sangkuriang. 

Kekuatan keuyeup bodas sengaja mencegah pembangunan telaga demi  mempertahankan akar budaya dan potensi budaya tumpah darahnya. Jika kawasan tersebut benarbenar menjelma menjadi sebuah telaga, pasti akan muncul dua kekuatan besar yang sama-sama menguasai telaga. 

Dua kekuatan besar itu satu sama lain tidak ada yang mengalah. Sosok buaya putih dan pengikutnya akan menguasai telaga apabila mereka benar-benar berhasil 
menjadikan kawasan tersebut menjadi sebuah telaga yang besar dan indah. 

Namun, keuyeup bodas tidak tinggal diam. Meskipun sebagai makhluk yang lembek dan tidak berdaya, keuyeup bodas dan pengikutnya akan selalu berusaha menjebol tambakan atau tembok penahan air bendungan. Bendungan perlahan-lahan akan bocor dan hancur. Banjir besar tak bisa dielakkan dan akan terus menggenangi  area sekitar bendungan. 

Lalu bagaimana kaitan mitos buaya putih dan keuyeup bodas dengan waduk Jatigede tersebut? Cerita buaya putih dan keuyeup bodas yang memang sudah mengakar di hati masyarakat Sumedang akhirnya berkembang menjadi polemik yang penuh dengan ornamen-ornamen mitos sejak pemerintah berencana membangun waduk Jategede. 

Di satu pihak, ada yang menghendaki sebuah telaga besar dan indah sebagai tempat pariwisata yang tak lain adalah Waduk Jatigede sebagaimana cita-cita Sangkuriang, yang diharapkan bermanfaat bagi rakyat serta santapan empuk para konglomerat. Namun, di pihak lain, muncul gerakan-gerakan yang menghendaki rencana tersebut gagal sebagaimana yang dilakukan oleh keuyeup bodas. 

Mereka yang tidak setuju merasa tidak rela apabila akar sejarah, tebaran situs-situs para leluhur Sumedang yang dikeramatkan tercerabut dari akar budaya karena akan tergenang air. 

Di sisi lain, hal itu sesuai dengan pandangan bahwa mitos sebenarnya tidak pernah mati. Hampir di mana pun mitos memang tidak pernah mati dan selalu terpelihara. Soal kemudian mitos mengalami dekonstruksi karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman, itu masalah lain lagi. Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai mitos sebagai salah satu sumber peradaban. 

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828