Seiring menyerahnya Belanda kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Subang. Sejak itu Hindia Belanda (Indonesia) berada di bawah pendudukan Jepang. Sumedang akhirnya juga dikuasai pasukan Jepang, setelah menerobos pertahanan Belanda di sepanjang jalan Bandung-Tanjungsari hingga memasuki Kota Sumedang. Kota Sumedang berhasil direbut Jepang dari pasukan Belanda, dengan taktik menerobos hutan dan pegunungan sehingga posisi pasukan Jepang berada di belakang pertahanan Belanda. Pada bulan Agustus 1942 Jepang menghapus keberadaan Gunseibu dan menetapkan lagi sistem pemerintahan seperti pada masa Belanda. Keresidenan Priangan tetap berstatus keresidenan yang menurut istilah Jepang: Priangan Syuu.
Priangan Syuu dipimpin oleh seorang residen (yang disebut Syucokan, yang waktu itu tetap dijabat oleh Kolonel Matsui. Di tingkat kabupaten, di bawah keresidenan, istilah kabupaten menjadi ken dan dipimpin oleh seorang kenco (bupati). Kewedanaan diganti menjadi gun, dipimpin oleh seorang gunco (wedana); kecamatan menjadi son, dan dipimpin oleh sonco (camat); dan desa dirubah menjadi ku, dipimpin oleh kuco (kepala desa). Selama masa pendudukan, jabatan kenco ke bawah dipegang oleh orang Indonesia.
Keresidenan Priangan atau Priangan Syuu terdiri dari lima wilayah administratif yaitu: Sumedang, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Ditambah satu lagi Kota Bandung yang berstatus kotapraja, dan disebut Bandung Syi. Pada masa Jepang, Kabupaten Sumedang disebut Sumedang Ken semasa kekuasaan militer Jepang, semua bentuk kegiatan politik atau pun organisasi pergerakan rakyat dilarang oleh Jepang. Beberapa organisasi yang ada di Sumedang dibubarkan. Guna mendukung pertahanan militernya selama pendudukan, Jepang memanfaatkan berbagai potensi ekonomi dan sarana yang ada. Dengan mengeluarkan Undang-undang No. 22 pada 5 Juli 1942, militer Jepang mengawasi perkebunan dan sumber daya alam yang ada. Perkebunan yang ada di Sumedang dan daerah Priangan seperti karet, kina, teh di Jatinangor dan Tanjungsari kini berada dalam penguasaan Jepang. Jepang mengerahkan pekerja-pekerja paksa atau Romusha untuk membangun sarana pembangunan dimana-mana, termasuk di Priangan Syuu. Sejumlah romusha di Ujungjaya dipaksa militer Jepang untuk menebang kayu di hutan-hutan daerah itu guna pembangunan. Di Buahdua dan Rancakalong, masyarakat yang dijadikan Romusha, diperintah militer Jepang untuk membangun saluran irigasi. Dimana-mana rakyat diminta menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan tentaranya agar keperluan logistik mereka tetap tersedia. Termasuk menanam pohon jarak dan kaliki untuk keperluan sang penjajah, di bawah ancaman keras tentara Dai Nippon itu. Kita lanjut lagi nanti yah wargi Sumedang di bagian tulisan kedua untuk Sumedang pada masa Penjajahan Jepang. Sumber: Buku Sumedang Heritage
Belum ada komentar.