Leader is Reader: Belajar dari Maniak Literasi

Kiprah literasi Sukarno tidak hanya berhenti sampai di situ. Ia juga pernah mendirikan dan menjadi Pemimpin Redaksi majalah Fikiran Ra'jat pada awal 1930-an. Ia mendedikasikan majalah tersebut untuk menyuarakan aspirasi rakyat kecil (baca: kaum Marhaen) atas ketidakadilan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Hatta merupakan pecandu buku yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kecintaannya membaca buku menyebabka Hatta tidak rela bila dipisahkan dengan koleksi buku-bukunya. Tatkala Hatta diasingkan ke Banda Neira oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, ia meminta agar diizinkan membawa rak bukunya ke pengasingan. Karena itulah, Hatta dikenal dengan sebuah ungkapan populernya bahwa ia, "Rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas."

Selayaknya orang-orang yang fokus membaca, Hatta juga termasuk tokoh yang pemikirannya kerap kali dituangkan dalam bentuk tulisan. Beberapa buku yang dihasilkan melalui goresan tinta dan pemikiran Hatta menjadi karya fenomenal pada masaya, seperti Alam Pikiran Yunani, Mendajung Di Antara Dua Karang, dan Demokrasi Kita.

Lain lagi dengan Natsir, ia merupakan tokoh yang tidak pernah merasakan duduk di bangku perkuliahan seperti Sukarno dan Hatta. Natsir hanya menamatkan pendidikannya hingga jenjang AMS (setaraf SMA hari ini) di Bandung. Meski demikian, ia juga dikenal sebagai pecandu buku dan penulis yang produktif. 
Di bawah asuhan Tuan Ahmad Hassan, Natsir tumbuh menjadi anak muda bernalar kritis dan produktif menulis.  Ia pernah menulis banyak sekali artikel pada majalah-majalah ternama seperti Pedoman Masjarakat dan Pandji Islam. Artikel-artikel buah tangan Natsir yang tersebar di berbagai medium tersebut, kemudian dihimpun menjadi buku berjudul Capita Selecta yang terdiri atas tiga jilid.

Natsir juga populer karena pernah berpolemik dengan Sukarno pada 1930-an. Ia bersengketa melalui tulisan dengan Sukarno. Kedua tokoh tersebut berdebat  mengenai kedudukan agama Islam dalam kehidupan publik serta hubungan antara Islam dengan negara. Meski keduanya terlibat polemik, tetapi mereka bersikap sportif, tidak saling mencerca, dan lebih hebatnya lagi, tulisan Natsir dan Sukarno tetap menunjukkan bobot ilmiah yang tinggi. 

Literasi Kunci Pembebasan Masyarakat
Kecintaan Sukarno, Hatta, dan Natsir terhadap tradisi literasi sangat patut untuk kita teladani. Tiga tokoh tersebut secara tidak langsung memberi pelajaran pada generasi hari ini bahwa ide-ide besar tentang apa pun tidak akan pernah dicapai oleh mereka yang tidak akrab dengan tradisi literasi.

Tradisi literasi merupakan elemen prinsipil yang dapat membebaskan masyarakat. Aktivitas membaca, menulis, dan berdiskusi yang dibudayakan oleh para pemimpin Indonesia bahkan dunia terbukti menjadi alat yang mampu menggerakkan nurani masyarakat melawan kesewenang-wenangan.

Halaman Selanjutnya

Komentar

wave

Belum ada komentar.

Tinggalkan Komentar

wave

Cari Artikel

<<<<<<< HEAD ======= >>>>>>> 22907a91d5212753ed2de3bbf69bb3b53a692828